BABAK SATU
ADEGAN 1
(Kerajaan Alengka waktu senja. Di bagian taman sari. Taman
Asyoka yang sudah masyhur namanya. Terlihat para dayang melayani Shinta.
Rahwana sedang bercengkerama dengan Sinta. Rahwana tidak digambarkan sebagai
tokoh raksasa yang jelek, tapi sebagai seorang yang gagah dan wajah lumayan
tampan. Taman sari itu adalah sebuah taman
sari yang sangat indah. Tokoh dayang-dayang boleh ada boleh tidak)RAHWANA: (Kepada dayang-dayang) Kalian boleh pergi.
(Para dayang memberi hormat, lalu pergi. Tinggal Rahwana dan Shinta berdua)
RAHWANA: Kau tahu kenapa aku membawamu kemari?
SHINTA: (Pura-pura tidak tahu) Tidak.
RAHWANA: Bahkan aku bisa melihat kepura-puraan di matamu. (Shinta diam saja. Sedikit salah tingkah) Apakah kau sudah melupakan gemuruh perasaan yang ada di dada kita?
SHINTA: Tentu saja tidak, Kanda Rahwana. Tapi, saling mencintai bukan harus memiliki, kan? Aku kira itu adalah hukum alam yang tidak terbantahkan lagi. Bukankah kau sendiri pernah berkata begitu?
RAHWANA: Lantas kenapa aku tidak boleh memilikimu?
SHINTA: Ini sudah takdir Sang Mahatunggal, Kakang.
RAHWANA: (Dengan agak kesal) Oh ya? Apakah juga takdirNya bahwa engkau harus menikah dengan Rama?
SHINTA: (Terdiam sejenak. Mencoba mengatasi perasaannya sendiri. Lalu dengan berat berkata) Tampaknya memang begitu, Kakang.
Hening sesaat
SHINTA: Dengarlah, Kakang. Aku yakin, Kakang sudah tahu perasaanku tanpa harus aku katakan. Tapi sekali lagi Kakang, ini memang sudah takdir. Ini perintah dari guru sejatiku. Bukankah Kakang juga punya cita-cita untuk bertemu dengan Sang Sejati? Inilah jalannya, Kakang. Kita harus menyingkirkan segala perasaan cinta duniawi yang berlebihan. Aku adalah bagian dari dunia ini, dan Kakang diberi ujian untuk tidak mengikatkan diri padaku. Begitu pula dengan aku.
RAHWANA: Tapi aku ingin memandang wajahNya lewat wajahmu. Aku ingin mencintai diriNya yang ada dalam dirimu sekaligus yang meliputimu.(Gusar) Tidak. Tidak. Pasti ini semua karena Rama. Kenapa? Apa kau terpikat dengan ketampanannya? Rayuannya? Kekayaannya? Dengar Sinta, aku memang tak punya apa-apa. Tapi lihat betapa makmur negeri ini. Memang istana ini bukan punyaku. Rumahku hanyalah sekedar untuk tempat berbakti pada kepada Sang Mahasuci. Baik. Apa kau menginginkan kekayaan dan kemewahan? Ketampanan dan kata-kata manis? Kau bisa mendapatkan apa pun yang kau inginkan, Adinda. (Pause) Asal bukan Rama.
SHINTA: (Mulai mencucurkan airmata) Tidak, Kakang. Kenapa Kakang tidak percaya juga bahwa ini adalah takdir yang harus kita jalani.
RAHWANA: (emosional) Takdir, Shinta? Dengar, aku akan mengejar para dewata ke langit kalau itu memang takdir. Tidak, Shinta. Aku tidak bisa terima ini. Kalau memang ini adalah takdir seperti yang kau katakan, aku akan mengubahnya!
SHINTA terduduk dan menangis sejadi-jadinya.
ADEGAN 2
(Suasana sekitar berubah. Seperti ada guncangan dahsyat sebentar, lalu
tenang kembali. SHINTA mematung. Sementara RAHWANA tampak kebingungan. Lalu
terdengar suara dari SHINTA tapi dengan warna suara yang berbeda.)
SHINTA: Mendekatlah kemari, Rahwana. (RAHWANA
tampak kebingungan mencari sumber suara. Lalu mengarahkan pandangan ke arah
SHINTA. RAHWANA masih ragu) Iya, kemari!
Rahwana mendekat.
SHINTA: Tataplah wajahku baik-baik. (RAHWANA
menatap wajah SHINTA dalam-dalam) Kau tahu siapa aku kan, Rahwana?
RAHWANA: (menjatuhkan tubuhnya ke lantai untuk
menyembah) Aduh, ampuni hamba Guru Sejati..Mata hati hamba ternyata masih
buta.
SHINTA: Bangkitlah, dan dengarkan baik-baik apa
yang akan aku katakan ini.
RAHWANA bangkit dan mendengarkan dengan
seksama.
SHINTA: Rahwana, semua yang dikatakan Shinta tadi
adalah benar adanya. Ini memang takdir yang harus kalian jalani. Ini baru batu
awal ujian yang harus kalian tempuhi untuk menjadi manusia sejati,
sejati-jatinya manusia. Manusia yang bukan sekedar perwujudan darah dan daging,
tapi sebagai ciptaan Sang Mahatunggal yang kelak juga harus kembali kepada Sang
Hyang Tunggal.
RAHWANA: Hamba mengerti, Guru.
SHINTA: Nah, Rahwana. Kenapa kalian harus diuji?
Barangkali karena perasaan duniawi yang mulai mengikat kalian. Cinta yang
merebak dalam hati kalian telah menjelma menjadi sesuatu yang melebihi
kecintaan kepada Hyang Tunggal. Dia ingin memperingatkan kalian untuk tidak
menganggap segala yang ada di dunia ini sebagai sesuatu yang kekal. Dia tidak
ingin kalian lupa pada tujuan sejati kalian. Ingatlah, rasa ingin memiliki
dunia ini hanya akan mengantarkan kalian pada kesengsaraan. Kau boleh mencari
dan memiliki apa yang ada di dunia ini, tapi jangan sekali-kali kau mengikatkan
hatimu padanya.
RAHWANA: Hamba mengerti, Guru. Hamba telah
melakukan kelailaian.
SHINTA: Bagus, kalau kau mengerti. Ada satu hal lagi yang
ingin aku sampaikan. Rahwana, peperangan tidak akan terelakkan lagi. Sebagai
manusia, berusahalah untuk mencegah perang ini, meski pada akhirnya bala
tentara Rama akan menyerang negeri Alengka apapun yang jadi penyebabnya. Kau
tidak perlu merasa bersalah. Ini memang peringatan bagi bangsamu yang lupa akan
kemakmuran yang sudah dilimpahkan Sang Mahamurah. Banyak diantara rakyat dan
pejabatmu yang melakukan berbagai tindak adharma. Mereka saling merampas
dan mencuri, menghardik dan mencaci, memakan benda-benda yang bukan hak mereka
atau yang dilarang oleh Sang Pencipta. Ini memang harus diterima bangsamu. Ini
akan menjadi pertanda bagi siapa saja yang melupakan kasihNya, mengabaikan
nikmatNya dan menantang kuasaNya.Nah, bersamadilah untuk mensucikan dirimu
sambil menunggu Rama mengantarmu ke haribaan Sang Sejati. Selain itu Anakku,
fitnah akan tersebar tentangmu setelah ini. Bersabarlah. Orang-orang akan
memfitnahmu sebagai raja yang lalim dan manusia tak beradab. Mereka akan
menjulukimu sebagai Dasamuka yang memiliki sepuluh macam keinginan. Sekali
lagi, bersabarlah. Itu memang sudah menjadi konsekuensimu karena menginginkan
Shinta. Jika kau berhasil mengalahkan keinginanmu terhadap Shinta dan melawan
segala hasratmu untuk menyalahkan takdir, engkau akan mencapai derajat yang
amat tinggi di Mata Hyang Widi, Anakku.
RAHWANA: Hamba mengerti, terima kasih Guru. Hamba
akan laksanakan segala petunjuk Guru.
(Terjadi keguncangan lagi. SHINTA seperti terbangun dari tidur sementara
RAHWANA tampak tenang.)
ADEGAN 3
SHINTA: (Setelah kembali kesadarannya sebagai
Shinta) Kanda Rahwana? Kanda tidak apa-apa.
RAHWANA: Tidak, Dinda. Keduanya bangkit.
RAHWANA: Sebentar, Dinda. Ada yang mengintip kita. (Tidak jelas ke
arah mana) Keluarlah, Hanuman. Aku tahu kau mengintip kami sedari tadi.
Tiba-tiba muncul HANUMAN
HANUMAN: (Bersimpuh untuk menyembah)
Sembah sujud hamba, Paduka Raja!
RAHWANA: (Tertawa kecil) Ayolah, tidak
usah begitu. Bukankah kita sudah sama-sama tahu. Tidak usah memanggilku dengan
sebutan "Paduka Raja". Yang ada di depanmu ini Rahwana, seorang
manusia yang sedang bergulat mencari kesejatian. Jangan pandang mahkota yang
kukenakan, duhai Kera Putih.
HANUMAN: Baiklah, Rahwana.
RAHWANA: Kau tahu semuanya kan, Hanuman?
HANUMAN: (Sedikit terkejut) Ya. Tapi
bagaimana kau tahu kalau aku mengintip, padahal….
RAHWANA: Ha…ha…ha. Hanuman, aku tahu kau memiliki
kesaktian yang luar biasa. Mata biasa tidak akan bisa menangkap kehadiranmu.
Ketahuilah Hanuman, sebenarnya aku tidak hanya mengetahui kehadiranmu, tapi
juga apa yang ada di pikiranmu.
HANUMAN: Maafkan aku Rahwana, jika aku meremehkan
kemampuanmu. Aku tahu kau juga seorang raja yang sakti pilih tanding. Tapi
mengapa kau biarkan saja aku, kalau engkau memang tahu?
RAHWANA: Aku ingin engkau menjadi saksi apa yang
sebenarnya terjadi. Aku ingin engkau menjadi saksi cinta sejatiku kepada
Shinta, meski orang akan mengira bahwa kecintaanku tak lebih karena nafsu
belaka. Aku ingin kau tahu, bahwa akhirnya aku mau melepaskan segala ikatan
dengan dunia ini. (RAHWANA menghela napas dalam-dalam) Dengar Hanuman,
seandainya aku mau menggunakan seluruh kekuatanku, aku mampu menghancurkan Rama
beserta seluruh bala tentaranya. Tapi tidak Hanuman, aku tak mau menjadi budak
nafsu pribadiku.
HANUMAN: Aku mengerti, Rahwana.
RAHWANA: Hanuman!
HANUMAN: Iya, Rahwana.
RAHWANA: Aku minta jangan kau sebarkan apa yang
sudah kita bicarakan ini. Mereka tidak akan mengerti. Dan lagi, itu akan
merusak tatanan takdir yang harusnya aku terima dengan tulus.
HANUMAN: Aku mengerti.
RAHWANA: Berjanjilah, Hanuman.
HANUMAN: Aku berjanji.
RAHWANA: Sebaiknya kau segera pergi dari sini.
Kumbakarna sudah menunggu kematiannya lewat tanganmu. Dia akan sangat bahagia
bisa mati di tanganmu.
HANUMAN Terlihat mulai menitikkan air mata
demikian pula dengan SHINTA.
RAHWANA: Jangan, Hanuman. Jangan bersedih atas
takdir yang akan aku jalani. Kematian bukanlah akhir, ia merupakan awal
kebahagiaanku bersama Sang Sejati. Pergilah cepat. Jangan sampai ada orang yang
melihat dan mendengar percakapan kita ini.
HANUMAN: Baiklah, aku pergi. (Kepada SHINTA)
Hamba pergi, Tuan Puteri. Percayalah, saya akan selalu berada di belakang Tuan
Puteri.
SHINTA: (Dengan sesenggukan) Pergilah,
Kera Kesatria. Jangan khawatirkan aku.
HANUMAN keluar.
ADEGAN 4
RAHWANA: (Kepada SHINTA) Kenapa menangis,
Shinta? Bukankah kau yang mengingatkanku untuk bersabar?
SHINTA: Aku tidak bisa menahan kerapuhanku
sebagai manusia, Kakanda.
RAHWANA: Kalau begitu, doakan saja aku supaya
termasuk orang-orang yang sabar.
SHINTA: Tentu saja, Kanda Rahwana.
RAHWANA: Aku juga akan selalu mendoakanmu, karena
yang akan kau alami sesudah ini bukannya lebih ringan dariku. Kesucianmu akan
diragukan oleh Rama.
SHINTA: Aku sudah siap. Bahkan dibakar di atas
api suci pun aku tak akan mengelak.
RAHWANA: Sekarang tinggalkan aku, Shinta.
Beristirahatlah kau di kamar istana yang sudah aku siapkan.Aku ingin samadi.
Tapi sebelum itu panggilkan Wibisana sebelum dia pergi menemui Rama. Ada pesan yang ingin
kusampaikan.
SHINTA keluar.
ADEGAN 5
RAHWANA: Datanglah, duhai Sang Maut. Telah lama
kunanti diriMu. Biarlah dunia ini menjadi milik mereka yang terpedaya. Biarlah
kesejatian cintaku lebur ke haribaan Sang Maha Kasih.
Hening sesaat. RAHWANA mengambil sikap duduk
bersila. WIBISANA masuk.
WIBISANA: Kakang memanggilku.
RAHWANA: Oh, Wibisana. Mendekatlah kemari.
WIBISANA mendekat.
WIBISANA: Apakah ini soal keberpihakanku kepada
Rama, Kanda Prabu?
RAHWANA: (Tersenyum) Bukan. Aku sangat
menghargai pilihanmu berperang di pihak Rama. Cuma, sebelum kamu berangkat aku
ingin menitipkan pesan.
WIBISANA: Pesan? Kepada Rama?
RAHWANA: Ya. Katakan kepada Rama, aku akan
memberikan Shinta dengan suka rela jika dia memintanya kepadaku dengan
baik-baik.
WIBISANA: Aku tidak yakin Rama akan mempercayai
isi pesan Kanda.
RAHWANA: Apapun jawabannya. Sampaikan saja,
pesanku.
WIBISANA: Baik, Kanda. (PAUSE) Dengar Kanda,
bagaimanapun aku tetap menyayangi Kanda Rahwana. Tapi banyak pandangan kita
yang berbeda. Di samping itu, soalnya adalah bahwa Rama adalah guruku.
RAHWANA: Aku mengerti, Adhi. Sudahlah, jangan
sentimentil begitu. Pergilah kau layaknya seorang kesatria. Jangan kecewakan
Kakandamu sebagai kesatria.
WIBISANA: Baiklah Kanda Prabu, saya pergi.
WIBISANA pergi. RAHWANA memulai samadinya.
Lampu padam/Layar Turun
BABAK DUA
ADEGAN 1
Siang hari keesokan harinya. Rahwana masih tenggelam dalam samadinya.
Sementara pertempuran sengit tengah berlangsung. Penggambaran pertempuran bisa
lewat siluet di layar. Terserah kreatifitas sutradara. Sesudah penggambaran
pertempuran, ada dua orang mentri kepercayaan menghadap Rahwana yang sedang
samadi, dan membangunkan samadinya.MENTRI 1: Maafkan hamba, jika mengganggu Samadi, Paduka.
RAHWANA: Silahkan, Paman.
MENTRI 2: Ada berita buruk yang hendak kami sampaikan, Gusti.
RAHWANA: (Menarik napas) Hm…ini tentang Kumbakarna, kan?
MENTRI 1: Betul, Gusti.
RAHWANA: Aku sudah tahu.
Kedua mentri berpandangan dengan perasaan heran.
RAHWANA: Aku tahu, Kumbakarna dipotong kepalanya
oleh Hanuman. Lalu kepala itu ditanam di atas bukit. (Tersenyum) Bukan
Paman. Ini bukan berita buruk. Ini Sudah lama dinantikan Kumbakarna. Bahkan
sebelum berangkat ke medan
laga, dia meminta kalungan bunga telasih yang menjadi simbol bahwa dia ingin
melepaskan ikatan dari keduniawian.
MENTRI 1 & 2: Hamba mengerti, Gusti.
RAHWANA: Ketahuilah Paman-Pamanku yang setia.
Kekalahan Alengka ini memang sudah suatu keniscayaan. Darah yang mengalir di
sungai-sungai adalah batu peringatan bagi siapa saja yang terlalu mengagungkan
kemakmuran dan kejayaan duniawi. Maka dari itu Paman, jangan sekali-kali
mengikatkan diri pada dunia. Jangan sekali-kali terbujuk oleh kesementaraan.
Kalian boleh memiliki perhiasaan dan kekayaan duniawi, tapi hendaklah ingat
bahwa semua itu hanyalah mimpi. Ingat itu baik-baik.
MENTRI 1 & 2: Hamba, Gusti.
RAHWANA: Nah, sekarang pergilah kalian. Tidak
usah mengkhawatirkan aku. Pergi dan selamatkan diri dan keluarga kalian.
MENTRI 1 & 2: Tapi Gusti…
RAHWANA: Sudahlah. Pergilah kalian. Aku tak butuh
perlindungan. Saatku memang sudah tiba. Aku sudah melihat para bidadari
menyiapkan permadani di Nirwanaloka. Pergilah, sebelum kalian dicincang oleh
bala tentara Rama Wijaya.
MENTRI 1 & 2: Kami akan selalu mematuhi
perintah, Paduka.
Tiba-tiba masuk seorang PRAJURITt dengan
tergopoh-gopoh.
PRAJURIT: Sembah sujud hamba, Paduka.
RAHWANA: Ada
apa, Prajurit?
PRAJURIT: Pasukan Rama Wijaya mulai menggempur
pintu gerbang, Paduka. Sebentar lagi mereka akan memasuki halaman kerajaan.
RAHWANA: Berjuanglah terus kalian dengan gagah
berani. Jangan sisakan satu prajurit pun di Istana. Aku tidak membutuhkan
perlindungan kalian. Tunjukkan pada Rama dan dunia bahwa bangsa Alengka bukan
bangsa yang kerdil dan mau saja tunduk di bawah kaki Rama Wijaya. Pergi dan
sampaikan pesanku ini kepada seluruh prajurit.
PRAJURIT: Baik Gusti, hamba mohon diri.
PRAJURIT keluar.
RAHWANA: Nah, mentri-mentri yang setia. Pergilah
kalian. Kejayaan Alengka sudah berakhir. Pergi dan ingat-ingat selalu apa yang
telah aku pesankan kepada kalian.
MENTRI 1: Baik, Gusti. Kami mohon diri.
KEDUA MENTRI keluar.
ADEGAN 2
RAHWANA: Oh keindahan yang menipu, sebentar lagi
aku akan segera meninggalkanmu. Meninggalkanmu untuk bertemu dengan keindahan
sejati. Oh, istana yang dibangun oleh keringat berjuta manusia. Leburlah kau
menjadi batu-batu. Jadilah kalian kenangan bahwa pernah ada sebuah bangsa yang
berjaya, tapi harus menemui kehancurannya dikarenakan kesombongan dan ketamakan
manusia. Oh Rama, datanglah Mautku. Aku siap menyambutmu.
Masuk SHINTA
SHINTA: Kanda Rahwana.
RAHWANA: Dinda Shinta, kenapa kau kemari?
Bukankah sebaiknya kau beristirahat?
SHINTA: Aku tidak bisa memejamkan mataku. Aku
tidak kuasa membayangkan kengerian ini. Aku tidak pernah membayangkan bahwa
pada akhirnya kita harus berpisah. Bagaimanapun juga aku tetap manusia biasa,
Kakang.
RAHWANA: Oh Dewi Kesucian! Aku juga bisa
merasakan apa yang menjalar di aliran darahmu. Di dalam darahku juga mengalir
kepedihan yang sama. Tapi dengarlah wahai lambang kesucian yang akan diabadikan
manusia sepanjang masa! Pada hakikatnya kita tidak pernah berpisah. Bukankah
kita berasal dari nafas yang sama? Bukanlah badan ini hanya perwujudan semu
belaka? Bukankah kita ini hanyalah anak-anak sungai yang pada akhirnya mengalir
di samudra yang sama? Jika semua orang mampu memahami ini, niscaya tidak akan
ada kedukaan dalam batinnya. Tidak akan ada tetes airmata yang sanggup
melunturkan keteguhannya.
SHINTA: Tapi…kenapa, kenapa kita harus menanggung
semua fitnah ini? Mengapa harus kita harus menjadi sasaran panah-panah
kecurigaan hati manusia?
RAHWANA: Dengarlah wahai Shinta Suci. Tidak ada
duka atau bahagia. Semua itu hanyalah batu-batu ujian untuk menguji kesejatian
cinta kita kepada Sang Mahasuci.
SHINTA: Syukurlah, kalau Kanda sudah memahami
semuanya!
RAHWANA: Sang Penguasa Jagat telah menyampaikan
pemahaman itu lewat dirimu, Adinda. Maka, hapuslah airmatamu dan hadapilah Sang
Nasib bagaikan menyambut kicauan burung di pagi hari.
ADEGAN 3
HANUMAN datang dengan tergesa. RAHWANA dan
SHINTA terkejut.
HANUMAN: Rahwana.
RAHWANA: Hanuman? Bukankah kau seharusnya ada di medan laga?
HANUMAN: Aku ingin memberi penghormatan terakhir
padamu. Bala tentara Ayodya beserta pasukan kera sudah semakin dekat dengan
istana.
RAHWANA: Terima kasih, Hanuman. Aku sudah siap
menyambut mautku. (PAUSE) Dengar Hanuman, aku ingin mengungkapkan sebuah
rahasia. Hanya kita bertiga yang boleh mengetahuinya.
HANUMAN: Apa itu Rahwana?
RAHWANA: Kau tahu, aku tidak mungkin dibunuh
dengan senjata apapun. Maka dari itu, katakan pada bala tentara Ayodya msupun
pasukan wanara dari Gua Kiskenda, aku hanya mau bertarung dengan Rama. Hanya
dengan Rama. Suruh saja mundur Anila, Anggada bahkan Leksmana sekalipun.
Hening sesaat
RAHWANA: Aku akan melayani Rama untuk bertarung.
Bila aku sudah melihat Sang Yamadipati, Sang Maut Penjemputku, maka aku akan
melakukan tyaga. Aku akan matiraga. Akan kulepaskan sendiri nyawaku dan
menyerahkannya pada Si Pencabut Nyawa. Maka sampaikanlah kepada Rama, agar dia
melepaskan senjata pamungkas Bhramastra ketika aku mengambil sikap samadi yang
tak lain sebenarnya adalah sikap tyaga. Inilah satu-satunya pilihan
untuk menjaga kehormatannya di mata bangsa-bangsa seluruh jagat raya ini.
HANUMAN: Baik Rahwana, aku akan berusaha
menyampaikannya dengan tanpa membuka rahasia ini.
RAHWANA: Nah Hanuman, jangan terlalu lama di
sini. Pergilah wahai kesatria sakti mandraguna yang menjadi saksi segala jaman.
Jangan lupa kau bawa serta Shinta sebagai lambang baktimu pada Rama dan Negeri
Ayodya.
HANUMAN: Baiklah Rahwana, tampaknya kita memang
harus berpisah. Meski aku tak pernah membayangkan kita akan berpisah dengan
cara seperti ini. (Kepada SHINTA) Mari ikut hamba, Baginda Puteri.
SHINTA: Selamat tinggal Kanda Rahwana! Semoga
kita akan berjumpa lagi.
RAHWANA: Kita pasti akan bertemu lagi. Pergilah
kalian secepatnya, agar lakon ini akan berjalan sebagaimana mestinya.
Selanjutnya, biar takdir yang menjalankan tugasnya.
RAHWANA dan SHINTA pergi.
ADEGAN 4
(Adegan pertempuran. Bisa hanya bunyi atau visual. Sementara RAHWANA
mulai menyiapkan zirah perangnya. Pasukan Ayodya semakin mendekat.)
RAMA : (Off stage) Keluarlah Rahwana. Aku
menantangmu bertempur!
RAHWANA: Aku tidak bersembunyi. Aku menunggumu di
sini.
RAMA dan LEKSMANA masuk.
RAHWANA: Selamat datang Raja Ayodya.Selamat
datang Leskmana Mari segera bertarung!
RAMA seperti hendak mengatakan sesuatu.
RAHWANA: Tidak usah mengatakan apa-apa Rama. Aku
sudah tahu segala yang ingin kau katakan. Tidak perlu menceramahiku soal dharma
ataupun Astha Bhrata. Aku sudah tahu semuanya.
LEKSMANA: Biar aku saja yang menghadapinya,
Kakang!
RAMA: Aku saja Adhi. Ini urusan Kakang.
RAHWANA: Ha…ha…ha…Kalian boleh maju bersama-sama.
Aku tidak gentar.Ha…ha…ha! Jadi kau bertempur hanya untuk seorang wanita, Rama.
Kau korbankan ribuan orang hanya untuk itu. Tapi tak apa. Ayo kita mulai!
RAMA dan RAHWANA mulai bertarung. Mereka mengeluarkan berbagai
kesaktiannya. Begitu melihat RAMA terdesak, LEKSMANA ikut membantu. Terjadi
pertarungan sengit sampai akhirnya RAHWANA mengambil posisi samadi dan RAMA
mengeluarkan senjata pamungkas. RAHWANA gugur. Semuanya berkumpul, HANUMAN,
WIBISANA, SHINTA masuk.
RAMA: (Kepada dua orang Prajuritnya)
Kuburlah dia sebagai penghormatan dan peringatan.
Dua orang PRAJURIT menutup tubuh RAHWANA dengan kain lalu membawanya
keluar panggung. Tapi tak berapa lama mereka kembali.RAMA: Kenapa kalian kembali?
PRAJURIT 1: Tubuh Rahwana hilang Gusti!
RAMA: Apa? (Semua orang terkejut) Kalau
begitu… HANUMAN, cari batu besar dan tanamkan di sini!
HANUMAN: Baik Gusti Prabu.
HANUMAN segera pergi mencari batu besar dan meletakkannya di tengah
panggung.
RAMA: Dengar semua! Kalau ada yang bertanya
tentang mayat Rahwana! Katakan tubuhnya sudah hancur dan diperabukan di sini!
Batu ini adalah tanda peringatannya!
*walau ini bukan tulisanku sendiri tapi kupersembahkan ceritaku ini untukmu yang nanti akan menjadi pendampingku*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar